Pada suatu sore tahun 1976, di sebuah garasi sederhana di Los Altos, California, dua anak muda tenggelam dalam dunia kabel, papan sirkuit, dan layar monitor berwarna abu-abu. Salah satunya adalah Steve Jobs—berambut gondrong, penuh ambisi, dan punya keyakinan nyaris naif bahwa teknologi bisa mengubah hidup manusia. Dari ruang sempit itulah, dunia perlahan mengenal sebuah nama: Apple.
Visioner yang Tak Pernah Puas
Jobs dikenal bukan sebagai insinyur brilian yang mampu merangkai mesin dari nol. Perannya lebih mirip seorang sutradara: melihat potensi, menyusun visi, dan menuntut kesempurnaan. Rekannya, Steve Wozniak, sering menjadi tangan teknis, tetapi Jobs-lah yang melihat lebih jauh—bahwa komputer bukan hanya untuk para ilmuwan, melainkan juga untuk setiap rumah.
Keras kepala, perfeksionis, dan sering membuat orang di sekitarnya frustrasi. Namun, justru sifat itu yang melahirkan produk-produk revolusioner: Macintosh dengan desain yang ramah pengguna, iMac yang penuh warna, hingga iPod yang mengubah cara orang mendengarkan musik.
Jatuh, Lalu Bangkit Lagi
Kesuksesan awal Apple tidak membuat jalan Jobs mulus. Pada 1985, ia justru didepak dari perusahaan yang ia dirikan sendiri. Sebuah tamparan yang hampir mematikan kariernya. Namun, Jobs tak berhenti. Ia mendirikan NeXT, membeli studio animasi kecil yang kemudian dikenal sebagai Pixar, dan menghasilkan film ikonik Toy Story. Ironisnya, kegagalan itu justru mengantar Jobs kembali ke Apple dengan lebih kuat.
Saat ia kembali di akhir 1990-an, Apple berada di ambang kebangkrutan. Dengan kejeliannya meramu teknologi, desain, dan gaya hidup, Jobs mengubah Apple menjadi salah satu perusahaan paling berharga di dunia.
Filosofi “Think Different”
Jobs sering mengutip kalimat yang kini melegenda: “The people who are crazy enough to think they can change the world are the ones who do.” Ia percaya bahwa kreativitas lahir dari keberanian menentang arus. Di balik layar, Jobs menuntut detail sempurna—mulai dari bentuk tombol, warna ikon, hingga cara sebuah produk terasa di tangan.
Bagi Jobs, teknologi bukan sekadar soal mesin, melainkan tentang pengalaman manusia. Ia menjadikan Apple bukan hanya perusahaan komputer, tetapi sebuah ikon budaya.
Warisan yang Tak Lekang
Steve Jobs meninggal pada 5 Oktober 2011, meninggalkan dunia yang sudah berubah drastis oleh visinya. iPhone, misalnya, bukan hanya ponsel pintar, melainkan cikal bakal revolusi digital yang mengubah komunikasi, bisnis, bahkan cara manusia melihat dunia.
Kini, setiap kali seseorang menggenggam iPhone atau menekan tombol play di iTunes, jejak pemikiran Jobs masih terasa. Ia adalah bukti bahwa sebuah garasi kecil pun bisa menjadi titik awal revolusi global—asal ada keberanian untuk berpikir berbeda.
Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.