Di sebuah sel sempit di Pulau Robben, Afrika Selatan, seorang pria berkulit legam duduk menulis surat dengan tangan bergetar. Cahaya yang masuk hanya lewat jeruji kecil. Hari berganti minggu, minggu menjadi tahun. Dua puluh tujuh tahun waktunya habis di balik jeruji besi. Namun, ketika akhirnya pintu penjara terbuka, dunia terperangah: bukannya keluar sebagai sosok yang hancur, Nelson Rolihlahla Mandela muncul sebagai simbol keteguhan hati, rekonsiliasi, dan harapan bagi bangsa.
Awal dari Perlawanan
Lahir pada 18 Juli 1918 di desa kecil Mvezo, Mandela tumbuh dalam masyarakat Xhosa yang sarat tradisi. Sejak muda, ia menyaksikan ketidakadilan sistem apartheid—rezim yang menindas mayoritas kulit hitam di tanah kelahiran mereka sendiri. Mandela tak hanya menolak secara diam-diam; ia memilih jalur aktivisme, masuk ke Kongres Nasional Afrika (ANC) dan menjadi pengacara bagi mereka yang tidak mampu bersuara.
Namun, perjuangannya tak berhenti di ruang sidang. Bersama rekan-rekannya, Mandela menjadi arsitek gerakan perlawanan yang menuntut kesetaraan, meski harus berhadapan dengan risiko ditangkap, diasingkan, atau dibungkam.
27 Tahun yang Membentuk Dunia
Di balik tembok penjara Robben Island, Mandela justru ditempa menjadi pribadi yang lebih kokoh. Sel sempit tak menghancurkannya, justru menajamkan visi tentang Afrika Selatan yang damai. “Kebebasan tidak berarti apa-apa jika tidak termasuk kebebasan untuk berbuat salah,” katanya suatu ketika—sebuah pengingat bahwa kemanusiaan lahir dari keberanian untuk tetap berdialog, bahkan dengan lawan.
Selama dunia menekan Afrika Selatan dengan embargo dan kecaman, nama Mandela menjelma menjadi mantra. Poster wajahnya memenuhi jalan-jalan London, New York, hingga Jakarta. Lagu-lagu kebebasan menyebut namanya, dan setiap orasi keadilan menyelipkan harapannya. Mandela, yang secara fisik terkurung, justru menjadi manusia paling merdeka dalam imajinasi dunia.
Presiden yang Memilih Memaafkan
Ketika akhirnya dibebaskan pada 1990, Mandela punya dua pilihan: membalas dendam atau membangun bangsa. Ia memilih jalan kedua. Empat tahun kemudian, ia menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Alih-alih membalas luka dengan amarah, ia menggagas Truth and Reconciliation Commission—forum di mana korban dan pelaku apartheid bisa bicara, mendengar, dan belajar memaafkan.
Di bawah kepemimpinannya, Afrika Selatan bertransformasi dari negeri penuh segregasi menjadi “Rainbow Nation,” sebuah bangsa yang merayakan keberagaman. Dunia pun menobatkannya sebagai teladan kepemimpinan abad ke-20.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Nelson Mandela wafat pada 5 Desember 2013, namun warisannya jauh melampaui kehidupan biologisnya. Ia meninggalkan jejak bahwa keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi juga tentang memaafkan. Ia membuktikan bahwa kekuatan terbesar seorang manusia bukan pada senjata atau kekuasaan, melainkan pada kemampuannya merangkul musuh menjadi sahabat.
Kini, setiap kali dunia menghadapi krisis kemanusiaan, nama Mandela kembali disebut: sebagai pengingat bahwa bahkan dalam kegelapan penjara sekalipun, cahaya harapan bisa lahir.
Sumber Foto : Forbes Africa
Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.