Di sebuah panggung kecil di jantung Banyumas, suara gamelan mengalun lirih. Seorang lelaki dengan gerak tubuh yang lembut, mata penuh ekspresi, dan jari-jemari yang menari seperti menulis puisi di udara, hadir memukau. Dialah Rianto, seniman yang menjadikan tubuhnya sebagai ruang arsip: menyimpan ingatan, merawat tradisi, dan menantang batasan.
Dari Kaliori ke Dunia
Lahir di Kaliori, Banyumas, pada 8 September 1981, Rianto tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani sekaligus tukang becak, ibunya menjaga rumah. Namun sejak kecil, ia sudah akrab dengan seni tradisi. Sebuah kisah yang sering ia ceritakan: ketika bayi, ada tanda biru di dahinya. Ibunya membawanya ke sebuah pertunjukan lengger sebagai ritual perlindungan. Sejak itu, seolah takdir menautkan tubuh Rianto dengan dunia tari.
Perjalanannya tak mudah. Di sekolah, ia kerap menerima ejekan karena menari gaya perempuan. Lengger Lanang — tari khas Banyumas di mana pria menari dalam peran perempuan — sering dianggap ganjil, bahkan tabu. Tetapi justru di situlah Rianto menemukan panggilan hidupnya. Ia menempuh pendidikan di ISI Surakarta, lalu hijrah hingga ke Tokyo, mendirikan Dewandaru Dance Company, dan menjelajah panggung internasional.
Lengger: Tubuh, Identitas, dan Doa
Lengger bukan sekadar hiburan. Di Banyumas, ia hadir sebagai ritual: doa kesuburan, ungkapan syukur, sekaligus ruang ekspresi. Penari lelaki yang melakonkan gerak feminin justru dianggap menghadirkan keseimbangan — yin dan yang, maskulin dan feminin, bumi dan langit.
Namun, stigma masyarakat modern berbeda. Rianto tak jarang dipandang miring. “Banyak yang menyebut saya banci, seolah tubuh saya kehilangan identitas. Padahal justru di situlah kekuatan Lengger: merayakan keberagaman tubuh dan jiwa,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Dari Medium ke Dunia
Rianto tak hanya menari, ia berkisah lewat tubuh. Karyanya “Medium” misalnya, adalah dialog antara tubuh tradisi dan tubuh kontemporer. “Medium” lahir dari riset panjang, membawa Lengger ke ruang modern, tetapi tetap menjaga ruh Banyumas. Pertunjukan itu sukses mendunia, dipentaskan dari Jakarta hingga Eropa.
Bahkan sutradara Garin Nugroho terinspirasi membuat film Kucumbu Tubuh Indahku (2019), yang sebagian jejaknya lahir dari pengalaman Rianto sebagai penari Lengger. Tubuh Rianto menjelma narasi: tentang ingatan, luka, sekaligus perayaan.
Rumah Lengger: Menjaga dari Banyumas
Meski dunia terbuka untuknya, Rianto tak pernah melupakan tanah asal. Ia mendirikan Rumah Lengger Banyumas di kawasan Kota Lama, sebuah sanggar sekaligus ruang arsip untuk generasi muda. Di sana tersimpan kostum, dokumentasi, hingga peninggalan maestro Lengger. “Saya ingin anak-anak Banyumas tahu bahwa tubuh mereka punya warisan. Bahwa seni ini bukan sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan dijaga,” kata Rianto.
Menari Melawan Lupa
Di usia empat puluhan, Rianto tetap produktif. Ia mengisi festival internasional, dari Sydney WorldPride hingga kolaborasi dengan seniman dunia. Tetapi pulang ke Banyumas, ia tetap turun langsung melatih penari muda. Baginya, Lengger adalah doa yang menari, tubuh yang berdoa.
Di tengah dunia yang kerap memaksakan definisi tunggal tentang maskulinitas dan identitas, Rianto hadir sebagai penanda bahwa tubuh bisa lentur, bisa bercerita, bisa menyembuhkan.
“Tubuh saya adalah ruang ingatan,” ujarnya lirih. “Selama saya menari, Banyumas tidak akan hilang.”
Sumber Foto OZ Arts Nashvile
Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.