Di sebuah ruang kelas sederhana di Yogyakarta, awal abad ke-20, seorang pria berwajah tenang duduk di antara anak-anak desa. Ia bukan bangsawan yang menjaga jarak, meski darah biru mengalir di tubuhnya. Ia juga bukan sekadar guru biasa. Dialah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat—yang kelak lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan sekaligus bapak bangsa.

Jejak Awal Seorang Pemberontak Pena

Lahir pada 2 Mei 1889 di lingkungan keraton, Soewardi tumbuh dengan kepekaan sosial yang tinggi. Alih-alih menikmati hak istimewa sebagai bangsawan, ia memilih membela rakyat yang terpinggirkan.

Lewat tulisannya di surat kabar, ia berani mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Artikel terkenalnya, “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), membuat pemerintah murka dan mengasingkannya ke Belanda. Namun justru di tanah asing itu, ia belajar tentang pendidikan modern—benih gagasan yang kelak mengubah wajah bangsa.

Taman Siswa: Revolusi dari Sekolah

Sepulang dari pengasingan, Ki Hajar mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Di sekolah inilah ia merumuskan filosofi pendidikan yang legendaris:

  • Ing ngarsa sung tuladha – di depan memberi teladan.

  • Ing madya mangun karsa – di tengah membangun semangat.

  • Tut wuri handayani – di belakang memberi dorongan.

Filosofi ini bukan sekadar semboyan, melainkan sistem pendidikan yang membebaskan anak-anak bumiputera dari belenggu diskriminasi kolonial. Pendidikan, baginya, bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi membentuk manusia merdeka—berpikir, berjiwa, dan berbudaya.

Lebih dari Guru, Sebuah Gerakan

Ki Hajar Dewantara tidak hanya membangun sekolah, ia membangun kesadaran bangsa. Di masa ketika pendidikan hanya milik kalangan elit, ia membuka pintu bagi siapa saja: anak petani, pedagang kecil, hingga yatim piatu.

Taman Siswa menjadi ladang persemaian tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pendidikan baginya adalah jalan sunyi menuju kemerdekaan, jauh sebelum proklamasi dikumandangkan.

Warisan yang Tetap Hidup

Kini, setiap tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghormatan kepada beliau. Semboyan Tut Wuri Handayani pun masih kita temui—terpatri di logo Kementerian Pendidikan.

Namun, yang paling abadi dari Ki Hajar adalah pemikiran bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia. Bukan sekadar mencetak pekerja, melainkan membangun karakter, membentuk warga bangsa yang bebas, berbudaya, dan beradab.

Penutup: Api yang Tak Pernah Padam

Lebih dari seabad setelah Taman Siswa berdiri, gagasan Ki Hajar tetap relevan. Di era digital, saat anak-anak tenggelam dalam layar dan algoritma, semangat Tut Wuri Handayani mengingatkan kita bahwa mendidik bukan hanya memberi ilmu, tapi juga menuntun jiwa.

Ki Hajar Dewantara telah tiada, namun api yang ia nyalakan terus menyala di ruang-ruang kelas, di hati para guru, dan di setiap langkah anak bangsa menuju masa depan.

Sumber Ilustrasi : Krajan.com


Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca