“Suara rakyat adalah suara saya. Kalau mereka diam, mungkin saya pun berhenti bernyanyi.”
Kalimat itu sering muncul dalam berbagai wawancara Iwan Fals. Dan benar, lebih dari empat dekade, suaranya menjadi gema bagi keresahan, harapan, sekaligus doa jutaan orang Indonesia.
Masa Kecil dan Jalan Menuju Musik
Virgiawan Listanto lahir di Jakarta, 3 September 1961. Masa kecilnya berpindah-pindah, dari Jakarta hingga Bandung. Ia sempat menempuh pendidikan di sekolah olahraga, bercita-cita menjadi atlet. Namun takdir membawa langkahnya ke dunia musik.
Sejak remaja, gitar menjadi sahabatnya. Ia mengamen dari bus ke bus, menulis lagu-lagu sederhana tentang orang-orang yang ditemuinya di jalan. Dari situlah ia belajar: bahwa musik paling jujur adalah musik yang lahir dari kehidupan nyata.
Dari Terminal ke Panggung Nasional
Tahun 1980-an menjadi titik balik. Album Sarjana Muda (1981) melejitkan namanya. Lagu “Guru Oemar Bakrie” dan “Ambulance Zig Zag” menjadi fenomena. Gaya menyanyinya yang lugas, disertai lirik penuh kritik sosial, membuatnya cepat diterima publik.
Namun Iwan tidak sekadar penyanyi. Ia adalah penyambung lidah rakyat kecil, yang berani menyuarakan hal-hal yang tak berani diucapkan banyak orang.
Musisi yang Dicekal, Ikon yang Disembah
Popularitas itu dibayar mahal. Di era Orde Baru, banyak lagu Iwan Fals dicekal. Konsernya diawasi, bahkan sempat dihentikan aparat. Namun justru di situlah ia berubah menjadi ikon perlawanan.
Fans-nya rela berbondong-bondong datang ke konser, bahkan ikut menyanyikan tiap bait seolah itu adalah doa bersama. Dari situlah lahir komunitas besar bernama Oi!, singkatan dari Orang Indonesia, yang kini tersebar di berbagai daerah. Bagi mereka, Iwan bukan hanya penyanyi, melainkan guru, sahabat, sekaligus penyemai harapan.
Luka Kehilangan: Galang Rambu Anarki
Tahun 1997 menjadi titik gelap dalam hidup Iwan. Putra sulungnya, Galang Rambu Anarki, meninggal dunia di usia 15 tahun karena kecelakaan. Luka itu meninggalkan jejak mendalam.
Iwan sempat menarik diri dari hiruk-pikuk dunia hiburan. Musiknya pun berubah: dari kritik tajam penuh api, menjadi lebih reflektif, kontemplatif, dan sarat spiritualitas. Ia menemukan kembali dirinya, bukan hanya sebagai “penyanyi protes”, tapi juga sebagai manusia yang berdamai dengan hidup.
Fase Baru: Dari Stadion ke Streaming
Memasuki era 2000-an hingga kini, Iwan tetap aktif berkarya. Ia merilis album-album dengan nuansa lebih tenang, namun tetap menyentuh isu sosial dan kemanusiaan. Konsernya masih memikat, baik di stadion besar maupun panggung-panggung intim.
Di era digital, Iwan berhasil menjaga relevansi. Lagu-lagunya yang dulu hanya tersedia di kaset, kini bisa dinikmati generasi baru lewat platform streaming. YouTube, Spotify, hingga media sosial mempertemukan Iwan dengan pendengar lintas generasi.
Lebih dari Musisi: Figur Kebudayaan
Kini, di usianya yang matang, Iwan Fals adalah sebuah institusi budaya. Namanya tak bisa dipisahkan dari perjalanan musik dan sejarah Indonesia. Ia tetap bersuara, meski dengan cara yang lebih bijak. Ia tetap hadir, meski tak lagi berteriak lantang.
Di rumahnya yang asri di Leuwinanggung, Bogor, Iwan kerap menerima tamu, bermain musik bersama keluarga, atau sekadar berbincang tentang kehidupan. Sosoknya lebih tenang, tapi pancaran ketulusannya masih sama.
Legenda yang Hidup
Iwan Fals bukan sekadar penyanyi. Ia adalah penyair rakyat, guru kehidupan, sekaligus saksi zaman. Lagu-lagunya mengajarkan bahwa musik bisa menjadi jembatan solidaritas, bisa menjadi senjata perlawanan, sekaligus menjadi doa yang merangkul banyak hati.
Selama masih ada yang mau mendengar, selama masih ada keresahan dan harapan di negeri ini, suara Iwan Fals akan selalu menemukan jalannya.
Dan mungkin, seperti kata salah satu lagunya, ia memang ditakdirkan untuk “tetaplah bernyanyi, walau dunia sepi”.
Sumber Foto : Tirto.ID
Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.