Gambaran Besar: Pasar yang Kian “Always-On”

Indonesia kini berada di fase “always-on commerce”. Laporan DataReportal edisi Januari 2025 memperkirakan 139 juta pengguna internet aktif (sekitar 48% populasi) aktif bersosial media, sementara penetrasi internet versi survei APJII 2025 bahkan menyentuh 80,66%—perbedaan ini lazim karena metodologi dan definisi yang tidak sama. Intinya: basis audiens digital kita masif dan makin merata. DataReportal – Global Digital InsightsAntara News

Perilaku Pengguna: Video Pendek & Live Shopping Mengubah “Funnel”

Dua tahun terakhir, “screen time” publik bergeser dari feed statis ke video pendek, live, dan chat-commerce. Dampaknya bukan sekadar kosmetik: video commerce (gabungan live & short-video shopping) kini ~20% dari GMV e-commerce Asia Tenggara—melonjak dari <5% pada 2022. Artinya, format video bukan hanya kanal promosi; ia sudah menjadi lokasi transaksi. Brand yang masih memandang video sekadar “awareness” berisiko tertinggal.

Dompet Digital Konsumen: Bukti Kuat dari Transaksi

Dari sisi uang yang benar-benar berpindah tangan, datanya solid. Nilai transaksi e-commerce Indonesia 2024 mencapai ~Rp487 triliun (naik 7,3% yoy), setelah jeda pada 2023. Memasuki 2025, Bank Indonesia melaporkan nilai transaksi Juli 2025 sebesar Rp44,4 triliun (mtm +6,41%; yoy +2,32%). Ini menandakan daya beli digital tetap resilien meski kompetisi makin sengit. Pusat Data KontanAntara News

Regulasi: “Social Commerce” Diatur Ulang — dan Ekosistem Beradaptasi

Pemerintah mengokohkan batas main melalui Permendag 31/2023: platform sosial boleh mempromosikan, tetapi dilarang memfasilitasi pembayaran langsung (agar tidak merangkap jadi e-commerce). Respons pasar? Kolaborasi model “kemitraan” seperti TikTok–Tokopedia: TikTok menyuntik investasi dan mengintegrasikan Tokopedia untuk mematuhi aturan; pada 18 Juni 2025, KPPU memberi persetujuan bersyarat atas kerja sama tersebut. Pelajarannya jelas: kepatuhan regulasi adalah strategi pertumbuhan, bukan sekadar “compliance cost”. Kementerian Komunikasi dan DigitalUIN Sunan Kalijaga Repository

Belanja Iklan: Digital Mendominasi, Retail Media Melejit

Struktur belanja iklan juga berubah. Proyeksi GroupM menunjukkan hingga 75% belanja iklan Indonesia 2025 mengalir ke kanal digital. Dampaknya terasa di “walled gardens” (platform sosial, search) dan retail media (iklan di marketplace) yang menawarkan intent + closed-loop measurement. Bagi brand, artinya lebih mudah mengaitkan impresi ke penjualan—asalkan arsitektur data dan eksperimen terkelola dengan benar. Campaign Indonesia

UMKM: Onboarding Besar-besaran, Tapi Kualitas Eksekusi Menentukan

Pemerintah mendorong 30 juta UMKM go-digital; per Agustus 2024, Kominfo menyebut 27 juta UMKM sudah mengadopsi teknologi digital. Namun kualitas eksekusi—stok, konten, iklan, layanan pelanggan—menjadi pembeda utama antara “sekadar hadir” versus “tumbuh berkelanjutan”. Tantangan literasi digital dan pengukuran (tracking) masih menjadi PR harian. Kemenpan RB

Privasi & Kepercayaan: UU PDP Mulai Berlaku Penuh

Sejak 17 Oktober 2024, UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) berlaku penuh. Implikasinya nyata untuk pemasaran: persetujuan (consent) yang valid, tujuan pemrosesan, hak subjek data, dan tata kelola data kini bukan jargon—melainkan prasyarat legal dan reputasi. Mematuhi PDP bukan hanya menghindari sanksi; ini fondasi trust yang mengerek CTR, konversi, dan LTV dalam jangka panjang. BPK RegulationsDJKPM

Implikasi Praktis untuk Brand & UMKM

  1. Bangun “video-first funnel”. Rancang kombinasi short-form (reach) → live/stream (interaksi) → retail media/marketplace ads (konversi). Optimalkan anchor di toko marketplace agar traffic dari sosial tidak “bocor”.

  2. Prioritaskan retail media untuk kategori dengan intensi tinggi: FMCG, elektronik, kecantikan. Manfaatkan kata kunci, slot rekomendasi, dan DSP internal marketplace untuk iklan berbasis intent.

  3. Arsitektur data yang patuh PDP. Petakan alur data dari lead form, pixel, hingga CRM. Terapkan Consent Mode, minimisasi data, enkripsi server-side, dan audit vendor pihak ketiga.

  4. Pengukuran modern. Padukan media mix modeling (MMM) untuk gambaran makro dengan experimentation (geo-split/A-B) guna mengatasi keterbatasan tracking. Hindari mengambil keputusan hanya dari last-click.

  5. Kreator sebagai “salesforce”. Tetapkan creator brief berorientasi outcome (voucher unik, SKU prioritas, live slot), bukan sekadar tayangan.

  6. Diversifikasi kanal: jangan terpaku pada satu “taman berdinding”. Sisihkan porsi untuk SEO, email/WA marketing berbasis izin, dan komunitas (loyalty/WhatsApp channel) agar CAC lebih sehat.

  7. Operasi konten yang rapih. Bekerja dengan siklus test–learn–scale mingguan: 10–20 variasi hook video, thumbnail A/B, dan review UGC; sunset cepat yang kalah.

  8. Etalase dan layanan: SLA respons chat <5 menit pada jam puncak; stok dan harga konsisten lintas kanal; manfaatkan post-purchase message untuk review organik.

Sikap Saya: Momentum Ada di Sisi Pemain yang Serius Mengukur

Fase 2025 bukan lagi soal “siapa yang paling ramai”, tetapi siapa yang paling terukur. Pasar besar, adopsi digital tinggi, format video dan retail media mempersingkat jarak dari konten ke transaksi. Regulasi juga makin jelas arahnya: adil, transparan, dan berorientasi perlindungan konsumen. Pemenangnya? Brand/UMKM yang membangun kepercayaan, disiplin pada data & eksperimen, dan lincah memadukan sosial → live → marketplace dalam satu orkestrasi yang patuh hukum.


Rujukan utama (dipilih): DataReportal 2025 (ukuran audiens), APJII 2025 (penetrasi), BI via Antara/Kontan (nilai transaksi), Bain–Google–Temasek e-Conomy SEA 2024 (porsi video commerce), Permendag 31/2023 & kebijakan Kemendag (aturan social commerce), Reuters (perkembangan TikTok–Tokopedia/KPPU), UU PDP (BPK/Kominfo).


Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari Mostly Media Co.

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca